Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL) secara konsisten melakukan berbagai aksi dengan cara berkolaborasi dengan berbagai multipihak agar produk unggulan kabupaten lebih dikenal. Salah satu langkah aksi yang dilakukan LTKL adalah menggelar kelas berkain kepada pengunjung termasuk awak media yang hadir di Pameran Inacraft pada Jumat (6/10).
Fitri selaku perwakilan dari LTKL menjelaskan, melalui Pameran Inacraft yang digelar di JCC, pihaknya memanfaatkan ajang ini untuk mengenalkan ekonomi lestari dari produk eco fashion maupun produk lokal agar dilirik konsumen sekaligus mendapat dukungan dari berbagai pihak.
“Seperti diketahui gairah ekonomi kreatif Indonesia sangat dipengaruhi oleh perkembangan industri fashion yang mampu berkontribusi terhadap negara sekitar 18,01 persen atau Rp116 triliun. Kenapa kita mengangkat berkain, karena salah satu cara untuk memperkenalkan eco fashion kepada pengunjung yang hadir di Pameran Inacraft,” tutur Fitri.
Kegiatan bangga berkain seperti dituturkan Fitri mengajak bangsa Indonesia untuk bangga menggunakan produk lokal, menggunakan produk berbasis alam yang mampu memberi manfaat ekonomi nyata bagi masyarakat kabupaten di daerah lain.
Tidak hanya itu kegiatan bangga berkain juga diharapkan untuk menghilangkan sekat-sekat formal terkait eco fashion yang juga merupakan bagian dari wastra nusantara.
“Selama ini kain wastra seperti batik cap, tulis maupun jumputan dan tenun diposisikan sebagai jenis formal dan dipakai hanya hanya untuk kegiatan tertentu yang kaku dan identik dengan usia maupun kalangan tertentu. Dengan adanya gelaran ini kami berharap anak muda di Indonesia menggunakan kain ketika nongkrong di cafe, jalan-jalan ke mall atau menonton konser,” tuturnya.
Pengarah gaya sekaligus penulis fashion dan kecantikan Raeni Kusumawardani menjelaskan di Indonesia ada beberapa jenis kain.Yang pertama Gambo Muba.Gambo Muba adalah tekstil khas metode jumputan, diwarnai dengan dicelup getah gambir yang awalnya dianggap limbah dan dibuang percuma. Kini Thia mampu mendorong perajin gambir dengan merubah limbah menjadi pewarna utama kain. Sebagai pro suk Eco fashion, Gambo Muba memakai 100 persen pewarna anti kimia.
Kedua, kain tenun ikat dari Sintang yang merupakan warisan asli suku dayak. Tenun ikat Sintang merupakan warisan budaya suku Dayak yang mempunyai nilai seni tinggi dengan Proses pembuatannya cukup panjang, mulai dari menanam kapas, memintal benang, peminyakan benang, pewarnaan dengan mencelup, mengikat motif, hingga menenun. “Kain tenun ikat sintang juga memanfaatkan alam disekitar untuk membuatnya. Prosesnya bahkan bisa menempuh waktu 1 bulan,” ucap Raeni.
Dalam kesempatan tersebut, ia juga menjelaskan mengenai bedanya pewarna alami dengan buatan. Terlihat dari kecerahan warnanya. Kalau yang alami lebih kusam warnanya dibandingkan buatan. Raeni pun berharap, ekonomi lestari dari eco fashion mendapat dukungan dari berbagai pihak. (Ichsan)