Pandemi Covid -19 memiliki dampak besar pada keberlangsungan bisnis Usaha Kecil dan Menengah (UKM). Berdasarkan hasil survei, sebanyak 96% pelaku UKM mengaku sudah mengalami dampak negatif Covid – 19 terhadap proses bisnisnya. Sebanyak 75% diantaranya mengalami dampak penurunan penjualan yang signifikan.
Pemerintah lewat Kementerian Koperasi dan UKM telah berusaha membuka layanan hotline 1500 587 yang ditujukan sebagai tempat aduan bagi UKM yang usahanya terkena dampak pandemi Covid – 19 ini mulai pertengahan Maret lalu.
Pendataan ini kemudian menjadi acuan dari pemerintah untuk menyiapkan program – program antisipasi dampak Covid – 19 ini. Antara lain mengajukan stimulus daya beli UKM dan koperasi, program belanja di warung tetangga untuk menggerakkan ekonomi sekitar, restrukturisasi kredit bunga, memasukkan sektor mikro dalam program kartu pra – kerja. Selain itu bantuan langsung tunai, hingga relaksasi pajak untuk UKM. Ini diharapkan bisa membantu koperasi dan UKM bertahan di masa pandemi ini.
Sejumlah pelaku UMKM menjaga volume transaksi di masa pandemi dengan memanfaatkan layanan pesan-antar. Mereka juga berinovasi untuk menarik minat konsumen. Karena, sejak pandemi corona, pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah terpuruk. Pendapatan harian mereka merosot drastis sehingga mengancam keberlangsungan usaha. Beberapa dari mereka pun mencari solusi untuk bertahan, salah satunya dengan memanfaatkan teknologi. Pemilik usaha pun harus tetap memutar otak untuk memastikan keuangan usahanya tetap sehat dan bisa bertahan di masa sulit ini.
Tri Mulaningsih, pemilik produk Mulan By RryniHouse berbagi ilmu terkait solusi bagi UKM untuk mempertahankan bisnis di saat sulit karena pandemi Covid-19 ini. Menurutnya, masa pandemi corona ini menjadi momen yang tepat bagi pemilik UKM untuk memperbaiki kualitas produk ataupun layanannya serta berhenti sejenak untuk mengembangkan strategi penawaran produk barang atau jasa yang menjadi basis bisnisnya.
“Strategi menawarkan produk bukan hanya dengan cara mempromosikan keunggulan produk itu, tetapi termasuk membuat konten iklan yang menarik dengan komponen attention, interest, desire, dan action,” ungkap Nining, sapaan akrabnya.
Selain itu, lanjutnya, UKM juga perlu memperbaiki strategi dalam berkoordinasi dan berkolaborasi dengan timnya. Pemanfaatan teknologi dan tools-tools profesional yang sudah tersedia saat ini bisa menjadi cara pelaku usaha menentukan menentukan prioritas pekerjaan, memonitor dan mengevaluasi pekerjaan-pekerjaan yang sudah dilaksanakan dalam periode tertentu.
Manfaatkan Teknologi dengan Optimal
Agar bisnis UKM tetap berjalan di tengah wabah corona ini, pelaku usaha disarankan melakukan proses automasi pada bisnisnya. Pada dasarnya, terdapat tiga bahan bakar utama dalam berbisnis, yaitu waktu, energi, dan uang. Kebanyakan pelaku usaha memiliki uang, tetapi tidak memiliki waktu dan energi karena dihabiskan oleh pencatatan manual dan cara-cara tradisional. Hal itu biasanya, menghambat perkembangan bisnis.
Maka itu, pelaku usaha wajib memperbaiki proses bisnisnya, misalnya dengan mengubah pencatatan manual dengan software akuntansi online. Saat ini, sudah banyak software yang ditawarkan untuk mempermudah pelaku UKM seperti Jurnal by Mekari, Sleeker, Omega, Bee dan lainnya.
Pelaku usaha juga diharapkan bisa mengubah proses pembayaran gaji karyawan yang semula manual menjadi sistem payroll otomatis, atau mengubah sistem pembayaran pajak secara tradisional menggunakan perangat lunak.
Dalam lini pemasaran misalnya, pelaku usaha juga bisa memanfaatkan teknologi seoptimal mungkin dengan digital marketing, dan sosial media. Dari sisi penjualan, UKM juga bisa memanfaatkan jasa online delivery yang saat ini sedang digandrungi masyarakat.
Selain itu, pelaku usaha juga perlu memanfaatkan masa wabah ini untuk meningkatkan keahlian yang dimiliki demi perkembangan bisnis kedepannya. Misal, keahlian dalam melakukan pemasaran via digital atau mengembangkan platform e-commerce sendiri. Sehingga saat bisnis berjalan dengan normal, operasional bisnis bisa berjalan lebih cepat dari sebelumnya.
Krisis yang terjadi saat ini tidak seperti krisis keuangan tahun 2008 yang menyebabkan daya beli menurun drastis. Saat ini lebih disebabkan, oleh krisis kesehatan dengan pola masyarakat yang hanya menahan daya beli, bukan tak memiliki kemampuan membeli. Jika kondisi kesehatan warga dunia pulih dan mereda, ekonomi berpotensi kembali berjalan normal dan daya beli bisa meningkat lagi. (Achmad Ichsan)