“Dalam terjemahan saya, seni kontemporer itu adalah satu sikap seniman yang mengerti kedalaman tentang kebenaran ataupun kode-kode yang bisa terbaca secara benar, tetapi seniman melakukan kesalahan dengan sengaja untuk tidak masuk ke wilayah itu. Itu bisa disebut ia melakukan satu step yang namanya seni kontemporer. Semakin dia melakukan kesalahan dengan sengaja, semakin dia keluar dari wilayah-wilayah modern yang sudah dikonvensi.”
Itulah seni kontemporer bagi Heri Dono, seorang seniman yang mengawali seni rupa kontemporer di Indonesia, yang masih eksis hingga kini. Ia kerap menyuntikkan unsur-unsur tradisional budaya Jawa khususnya wayang dalam karya-karya kontemporernya yang kekinian dengan objek-objek khas yang imajinatif, terkadang dibarengi dengan performance art yang eksentrik. Melalui karya-karya kontemporernya, Heri Dono dikenal di Indonesia. Di mancanegara, karya-karya Heri Dono menjadi ciri khas seni rupa kontemporer Indonesia. Atas peran penting dan kontribusi Heri Dono dalam mengembangkan dan mengenalkan seni rupa kontemporer Indonesia di kancah nasional dan internasional, Galeri Nasional Indonesia memproduksi sebuah Film Dokumenter Tokoh Seni Rupa Indonesia Heri Dono dengan judul “HERIDONOLOGY”.
“HERIDONOLOGY” mengisahkan tentang Heri Dono, sosoknya, karya-karyanya, perjalanan keseniannya, hingga mimpi-mimpinya. Kisah Heri Dono ini selain diungkapkan secara langsung oleh Heri Dono sendiri, juga dinarasikan oleh tokoh-tokoh yang terkait dengan Heri Dono. Di antaranya Suwarni (Ibu Heri Dono), Jim Supangkat (Kurator Seni Rupa), Nindityo Adipurnomo (Seniman dan Pendiri Rumah Seni Cemeti), Pustanto (Kepala Galeri Nasional Indonesia), dan Agni Saraswati (Manajer Studio Kalahan).
“Senangnya gunting-gunting gambar dari majalah, terus ditempel-tempel di tembok. Koran-koran juga digunting. Masa kecilnya seperti itu”, cerita Suwarni tentang masa kecil Heri Dono yang telah tertarik dengan seni. Menurut Suwarni, bakat melukis Heri Dono mulai tampak saat SMP. Sebagai orang tua, Suwarni dan ayah Heri Dono mendukung dengan menyediakan cat untuk Heri Dono untuk menggambar.
Kemampuan melukis Heri Dono semakin diasah dengan menempuh pendidikan di STSRI “ASRI”. Teman sekampusnya, Nindityo Adipurnomo menceritakan, “Pentingnya karya Heri Dono yang kemudian mengundang perhatian saya adalah karena Heri Dono membuat karya yang selalu tidak disukai dosen.” Kendati demikian, menurut Jim Supangkat, pada tahun 1980-an, walaupun istilah seni rupa kontemporer belum dikenal di Indonesia, karya Heri Dono sudah kontemporer seperti yang terjadi di Eropa Barat dan Amerika Serikat. “Heri Dono termasuk seniman yang tidak laku, tidak sehebat sejumlah seniman lainnya yang laku di Indonesia. Tapi tidak ada yang berani menyangkal posisi dia di Indonesia karena reputasi internasionalnya. Dia terkenal di antara sejumlah seniman-seniman yang ngetop, tetapi dalam kedudukannya, Heri Dono tidak bisa ditawar,” ungkap Jim.
Kehebatan Heri Dono dalam berkarya juga diakui Pustanto. “Heri Dono sidik jarinya ketemu. Begitu melihat karyanya, ‘Wah, ini pasti karya Heri Dono!’ Karena itu di Galeri Nasional Indonesia, kami tempatkan Heri Dono menjadi bagian yang penting dalam eranya,” ucap Pustanto.
Selain hebat dalam berkarya, Heri Dono juga menjadi sosok yang inspiratif. “Sebagai seorang seniman, Heri Dono mempunyai etos kerja yang sangat tinggi karena ia bekerja berdasarkan passion-nya. Ia juga mempunyai etos kerja yang sangat disiplin dengan waktu yang sangat padat,” kata Agni Saraswati.
Melalui produksi film “HERIDONOLOGY”, Pustanto berharap, “Film ini bukan hanya sebagai film yang layak untuk ditonton, melainkan juga sarat akan narasi edukatif untuk mengenal lebih dekat sosok Heri Dono sebagai perupa hebat Indonesia yang berperan penting dalam merintis dan mengembangkan seni rupa kontemporer di negeri ini, bahkan hingga saat ini Heri Dono masih aktif berkarya dan tetap eksis.” Selain itu, Pustanto berharap semoga publik dapat mengambil inspirasi baik dari sajian ketokohan, karya-karya, maupun perjalanan kesenian Heri Dono.
Menanggapi film dokumenter yang mengisahkan dirinya, Heri Dono mengatakan, “Saya merasa tersanjung dijadikan tokoh seniman seni rupa di dalam pembuatan film dokumenter yang dikerjakan oleh tim Galeri Nasional Indonesia. Saya berharap film dokumenter ini dapat memberikan gambaran lebih utuh mengenai sosok dan kerja kesenimanan di dalam memproduksi karya-karyanya, juga produksi-produksi pemikirannya. Saya juga berharap produksi film dokumenter ini menjadi sumbangsih bagi fenomena dan diskursus seni kontemporer Indonesia untuk lebih dapat dipahami bagi masyarakat di Indonesia maupun di mancanegara.
“HERIDONOLOGY” Film Dokumenter Tokoh Seni Rupa Indonesia Heri Dono diluncurkan secara resmi oleh Direktur Perfilman, Musik, dan Media Baru, Ahmad Mahendra pada Selasa, 14 Desember 2021, pukul 14.00 di Galeri Nasional Indonesia. Film ini diproduksi oleh Galeri Nasional Indonesia, disutradari oleh Reza Fahri. Film “HERIDONOLOGY” akan tayang segera pada 2 Januari 2022 pukul 21.00 WIB di Kanal Budaya Indonesiana, live streaming https://indonesiana.tv/ juga di Indihome ch 200 (SD) dan 916 (HD).
——-
Biografi Singkat Heri Dono
Heri Dono lahir di Jakarta, 12 Juni 1960. Ia merupakan seniman kontemporer asal Yogyakarta yang menjadi seniman Indonesia pertama yang sukses menembus art scene global di awal tahun ’90-an. Mengawali kariernya di tahun ’80-an, Heri Dono dikenal dengan karya instalasi kontemporer yang banyak terinspirasi dari wayang. Ia berusaha memasukkan elemen kompleks dalam pertunjukan wayang berupa visual, mantra, suara, storytelling, kritik sosial, humor, dan mitos berisi filosofi kehidupan. Komponen tersebut ia gabungkan dalam narasi karya-karyanya melalui penambahan elemen multimedia. Karya kreatifnya mengungkapkan ketertarikan Heri Dono dalam merevitalisasi seni yang berakar pada tradisi Indonesia. Pada banyak karya instalasi dan pertunjukannya, Heri Dono juga menggunakan “performativity” dan potensi interaktif yang membuat karya-karyanya terlibat dalam dialog komplementer dengan audiens.
Dalam karya lukisnya, ia banyak mengangkat deformasi liar dan fantasi gaya bebas yang berasal dari karakter dan kisah wayang. Kemudian ia menambahkan pengetahuan dan ketertarikannya pada kartun anak-anak, film animasi, dan komik. Kanvas Heri Dono selalu dipenuhi karakter menakjubkan dengan cerita yang fantastis sekaligus abstrak.
Heri Dono telah berpartisipasi pada lebih dari 300 pameran dan 35 bienial internasional, termasuk São Paolo Biennial (1996 dan 2004), Sydney Biennale (1996), Shanghai Biennale (2000), Havana Biennial (2000), Yokohama Triennial (2001), Asia Pacific Triennial (1993 dan 2002), Venice Biennale (2003), Taipei Biennial (2004), Sharjah Biennial (2005), Gwangju Biennale (1995 dan 2006), Guangzhou Triennial (2011), the 50th Venice Biennale in the Arsenale’s Zone of Urgency (2003), the 56th Venice Biennale: Voyage-Trokomod, (2015), Bangkok Art Biennale (2018), dan Kochi-Muziris Biennale (2018). Ia juga pernah meraih sejumlah penghargaan yakni Dutch Prince Clause Award for Culture and Development (1998); UNESCO Prize (2000), dan Anugerah Adhikarya Rupa dari Pemerintah Indonesia (2014).