Pengembangan destinasi wisata super prioritas berbeda penanganannya dengan pembangunan infrastruktur yang lain, karena yang dikembangkan bukan hanya bangunan fisik seperti hotel, bandara, penataan wilayah atau promosi turisme, melainkan termasuk pengembangan kapasitas warga setempat, memelihara kekayaan dan identitas lokal yang dimiliki oleh daerah tersebut.
Identitas lokal adalah basis dari semua pembangunan tersebut, suatu daerah menjadi unik dan pantas disebut sebagai destinasi wisata super prioritas karena ada identitas lokal yang unik. Aneh jika kita membangun destinasi wisata dengan cara kerja tempelate yang sama di semua daerah, nanti keunikan itu akan hilang. Identitas ini bukan hanya adat-istiadat yang diwariskan turun menurun, namun juga budaya yang berkembang saat ini.
Begitu juga pola ekonomi yang sudah ada di kawasan itu dan bagaimana relasi masyarakat dengan unsur-unsur budaya di daerah tersebut. Tanpa memperhatikan relasi dan kekayaan ini, maka pengembangan destinasi wisata hanya akan menambah persoalan sosial ketimbang menyejahterakan.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 Tentang Pemajuan Kebudayaan telah memberikan pedoman yang baik untuk menghargai identitas lokal ini dengan menjelaskan bahwa obyek pemajuan budaya antara lain adalah adat istiadat, pengetahuan tradisional, ritus, teknologi tradisional dan seterusnya. Artinya, sebetulnya sudah ada pedoman untuk menjaga identitas lokal ini.
Pemerintah tentu menghadapi dilema yang serius ketika harus memilih bagaimana mengembangkan destinasi wisata dengan cepat sembari tetap memperhatikan identitas lokal. Dalam penataan sebuah wilayah, biasanya dibutuhkan operator yang sudah berpengalaman, punya modal dan standar manajerial yang dianggap baik. Sayangnya operator yang punya kapasitas seperti ini sulit ditemui di tingkat lokal, maka muncul godaan untuk mendatangkan operator ini dari kota-kota besar (dari pusat) atau menunjuk organisasi/perusahaan yang sudah besar, yang belum tentu paham (atau paham namun tidak menghargai) identitas lokal.
Di salah satu destinasi wisata super prioritas–Borobudur—mengalami persoalan di atas. Sebagian besar penginapan dan hotel merupakan operator dan investor yang datang dari kota besar. Walaupun sudah ada sejumlah Balai Ekonomi Desa (Balkondes), namun belum dimanfaatkan secara optimum dalam mengakomodasi potensi lokal. Potensi kegiatan ekonomi lokal belum terhubung secara optimum dengan Balkondes-Balkondes ini, begitu pun pegiat-pegiat seni setempat.
Salah satu contoh terbaru bagaimana pembangunan destinasi wisata menjadi isu lokal adalah pembangunan Pasar Seni Kujon di Borobudur yang sedang berlangsung yang mengundang banyak perhatian dan kontroversi di sejumlah kalangan. Pembangunan ini dilakukan sebagai salah satu upaya pemerintah di dalam menangani tata kelola kawasan Candi Borobudur sebagai destinasi pariwisata super prioritas.
Dalam hal tata Kelola Kawasan candi Borobudur, pemerintah pusat menggunakan sistem “single management” dan menunjuk PT. TWC (Taman Wisata Candi) sebagai pelaksananya, (saat ini Perpres belum ditandatangani oleh Presiden). Penetapan ini mendapatkan pro dan kontra, apalagi langsung diputuskan untuk dibangun tanpa koordinasi dan komunikasi dengan warga setempat yang terdampak. Selain permasalah lahan yang digunakan yang bagi sebagian masyarakat masih jadi sengketa, bentuk bangunan yang dirasakan oleh masyarakat tidak sesuai dengan identitas lokal, dan juga tata kelola para pedagang.
Para pedagang yang tergabung dalam Sentra Kerajinan dan Makanan Borobudur (SKMB ) tidak diberikan informasi dan tidak dilibatkan dalam alur perencanaan lapak di Pasar Seni Kujon, pihak TWC memberikan kepercayaan pada kelompok lain dan SKMB tidak mendapatkan hak yang sama atas lapak. “Maaf, ini sama saja pihak TWC menggunakan praktik yang tidak sesuai identitas lokal yang menjunjung nilai-nilai keluhuran akan kemanusiaan dan keadilan,” kata salah satu pedagang dari kelompok SKMB. Para pedagang SKMB ini mewakili warga lokal yang seharusnya menikmati pembangunan Borobudur dan perlu didengarkan dan diakomodasi kebutuhan serta pengetahuan lokalnya.
Beginilah yang terjadi apabila suatu Kawasan Cagar Budaya hanya dipandang sebagai obyek komoditi pariwisata dan menghilangkan identitas lokal, satu per satu identitas kawasan tersebut runtuh dan hilang, Borobudur yang begitu megah dan penuh makna akan nilai luhur sebagai identitas lokal dan bangsa makin lama tidak terlihat lagi.
Akankah Borobudur bakal kehilangan makna dan identitasnya lagi seperti dulu sebelum diketemukan? Candi Borobudur sebagai identitas dan kebanggan Bangsa Indonesia akankah hilang? (DP)