Nilai ekspor nasional terus melorot. Para pemangku kepentingan berdalih, hal itu merupakan dampak dari kondisi perekonomian global yang tengah mengalami krisis berkepanjangan. Lantas, strategi apa yang dipilih untuk memacu ekspor?
Di tengah tren perekonomian dunia yang cenderung melemah, pemerintah terus sigap, salah satunya dengan mendongkrak ekspor untuk menjaga dan meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi nasional. Upaya yang dilakukan, yakni peningkatan nilai ekspor dan investasi di sektor produktif seperti industri manufaktur di mana tidak sebatas industri besar, tetapi juga industri kecil dan menengah.
Para pemangku kepentingan pun berembuk mengatur strategi agar dapat menembus pasar internasional, khususnya pasar baru yang belum pernah dijajaki. Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Kementerian Perindustrian (BPPI Kemenperin), Ngakan Timur Antara, menuturkan Indonesia masih mampu membawa produk-produk industri hingga menembus pasar internasional. “Menuju pasar yang belum pernah dijajaki sebelumnya atau pasar non-tradisional, seperti kawasan Afrika dan Amerika Latin,” tukas Ngakan.
Untuk memikat para pelaku usaha di sektor industri agar kian bergairah, menurut Ngakan, Kemenperin selaku anggota Komite Penugasan Khusus Ekspor, berupaya menyiapkan fasilitas pembiayaan ekspor untuk mendorong peningkatan ekspor produk industri nasional. Salah satu tantangan yang dialami industri dalam negeri dalam melakukan penetrasi ke pangsa pasar ekspor, lanjutnya, ialah perlunya daya saing produk terutama dari sisi harga. Kalau terkait kualitas, produk nasional mampu bersaing.
Pasalnya, ungkap Ngakan, beberapa negara seperti China telah memberikan dukungan pembiayaan pada industri yang berorientasi ekspor, sehingga dapat meningkatkan daya saing dari sisi harga di negara tujuan ekspor. Karena itu, sejak 2015, pemerintah meluncurkan program penugasan khusus ekspor melalui Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI). “LPEI bertujuan memberi dukungan pembiayaan kepada pelaku usaha yang melakukan ekspor. Adapun bentuk fasilitas pembiayaan ekspor tersebut meliputi pembiayaan, penjaminan, dan asuransi,” ungkap Ngakan lagi.
Di samping itu, adanya fasilitas pembiayaan ekspor ke kawasan Afrika menjadi peluang industri dalam negeri untuk melakukan penetrasi ekspor ke kawasan tersebut, sehingga menjadi salah satu alternatif strategi guna memenuhi target ekspor produk industri pada 2018 yang diproyeksikan mencapai US$135 miliar atau meningkat 8 persen dari perolehan pada 2017.
Pacu Ekspor Industri Kecil dan Menengah (IKM) Kerajinan
Ngakan menyampaikan, peluang ekspor tidak hanya pada industri besar. Pelaku juga memiliki potensi ekspor yang perlu dioptimalkan. Terlebih lagi, beberapa produk IKM nasional telah unggul di pasar global, salah satunya produk kerajinan. Produk IKM nasional sangat unik dan cukup kompetitif. Dengan jumlah unit usaha yang besar, peran IKM harus dimaksimalkan.
Namun demikian, pelaku IKM perlu memahami prosedur dan mekanisme yang harus dilalui agar produknya bisa diekspor. Selain itu, sebaran IKM di berbagai daerah membutuhkan peran dan fasilitas dari aparatur pemda untuk mendorong kegiatan ekspor. “Untuk solusinya, Kemenperin telah mengoptimalkan pemanfaatan fasilitas nonfiskal berupa pelatihan guna meningkatkan pengetahuan dan kapasitas pelaku IKM,” jelasnya.
ebijakan fasilitas nonfiskal tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2017 tentang Pembangunan Sarana dan Prasarana Industri. Dalam hal ini, Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebijakan Iklim Usaha Industri di bawah BPPI Kemenperin bekerja sama dengan Balai Besar Pendidikan dan Pelatihan Ekspor Indonesia Kementerian Perdagangan.
Kegiatan kerja sama yang dilakukan, antara lain pelaksanaan program pelatihan untuk pelaku IKM. Pada 2017, program tersebut diberikan kepada tiga puluh pelaku IKM di Yogyakarta. “Kami berharap, pengetahuan pelaku IKM mengenai mekanisme ekspor, dokumen-dokumen ekspor yang dibutuhkan, standar produk di negara tujuan, dan peluang pasar baru ekspor dapat mendorong peningkatan ekspor produk industri dalam negeri,” kata Ngakan.
Sebelumnya pada awal 2017, Kemenperin telah mendorong pelaku IKM agar bisa menangkap peluang pasar di era ekonomi digital dan Industri 4.0 yang memanfaatkan perkembangan teknologi manufaktur terkini dengan meluncurkan program e-Smart IKM pada awal 2017. Salah satu tujuannya ialah meningkatkan akses pasar melalui internet marketing. Menperin semasa Airlangga Hartarto telah menandatangani Perjanjian Kerja Sama dengan beberapa marketplace dalam negeri.
Sepanjang 2017, 1.730 pelaku usaha telah bergabung dalam program e-Smart IKM dari 23 provinsi. Pada 2019, ditargetkan akan mencapai 10 ribu pelaku IKM dari seluruh Indonesia. Program ini mendorong para pelaku IKM agar melakukan terobosan inovasi dengan memperbaiki produk, mengembangkan desain, serta mengikuti pendidikan dan pelatihan.
Sementara itu, menurut Ketua Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI) Soenoto, upaya pemerintah untuk mendukung IKM berperan penting bagi pengembangan industri mebel dan kerajinan. Bagi IKM Mebel dan Kerajinan, yang dibutuhkan antara lain perizinan yang lebih mudah dan koordinasi antarbadan dan instansi dengan industri. Dukungan pemerintah dalam meningkatkan daya saing di era perdagangan bebas saat ini akan membuat para pelaku industri mebel dan kerajinan optimistis menetapkan target industri mebel dapat tumbuh 16% pada 2018 ini.
oenoto menyatakan, perkembangan industri furnitur dan kerajinan di Indonesia dari tahun ke tahun masih cukup menggembirakan walaupun menghadapi kondisi pasar global yang penuh tantangan. Untuk memajukan industri mebel dan kerajinan, HIMKI telah bermitra dengan pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan. “Empat tahun ke depan, kami yakin industri mebel dan kerajinan nasional dapat tumbuh US$5 miliar,” tukasnya.
Sementara itu, Wakil Ketua Umum HIMKI, Abdul Sobur, optimistis target tersebut dapat dicapai, karena potensi industri mebel dan kerajinan dalam negeri masih cukup terbuka lebar mengingat sumber yang dimiliki negeri ini masih sangat mendukung. Indonesia memiliki 80% bahan baku untuk industri mebel dan kerajinan. Saat ini, IKM perajin mebel dan kerajinan hanya bergantung pada pengelolaan bahan baku tersebut menjadi barang berkualitas dan berdaya saing.
Berdasarkan data Kemenperin sepanjang Januari hingga November 2017, ekspor mebel nasional US$1,34 miliar. Pada periode yang sama tahun sebelumnya, industri mebel mencatatkan ekspor US$1,48 miliar kendati menurunnya tingkat ekspor sebagai akibat dari lemahnya ekonomi dunia. Pada empat tahun ke depan, Kemenperin optimistis penjualan ke mancanegara ditargetkan US$5 miliar.
Pada kesempatan berbeda, Ketua Umum Kepala Dagang dan Industri Indonesia, Rosan P. Roeslan, setuju jika pemerintah meningkatkan ekspor hingga ke pasar-pasar non-tradisional. Selain memperluas tujuan ekspor, diversifikasi produk juga diperlukan agar dapat menjangkau lebih banyak konsumen. Rosan sangat optimistis Indonesia dapat melakukan diversifikasi, misalnya produk kayu berupa mebel dan kerajinan serta produk halal.
Ia juga mengemukakan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) juga perlu didorong agar lebih banyak melakukan ekspor. “Pemerintah bisa memberikan insentif kepada eksportir-eksportir IKM kita,” imbuhnya. Bentuk insentif yang dimaksud beragam mulai dari perpajakan hingga bantuan biaya promosi seperti yang dilakukan pemerintah Malaysia. Namun, satu hal yang menurutnya penting ialah kerja sama antara pelaku usaha dengan pemerintah untuk memaksimalkan potensi ekspor yang ada. (Adyan Soeseno)