UMKM Indonesia memiliki potensi besar sebagai penggerak pasar
domestik. Lebih dari 90% bisnis Indonesia adalah usaha mikro kecil dan menengah, dengan
kontribusi terhadap PDB sebesar 60,5%. Hal ini dibuktikan dengan besaran nilai transaksi
e-commerce hingga Rp266,3 triliun per tahun 2020. Di sisi lain, berdasarkan riset Mckinsey,
perubahan perilaku konsumen menuju konsumsi yang lebih berkesadaran dengan memilih
produk yang lebih lestari juga semakin meningkat, ditunjukkan dengan nilai konsumsi global
untuk produk yang berkelanjutan atau lestari mencapai 150 miliar dolar.
Dengan fakta di atas cukup ironis melihat fakta bahwa penetrasi produk lokal masih di
bawah 20%, dan lebih sedikit lagi yang merupakan produk yang diolah secara lestari dan
memakai prinsip keberlanjutan. Padahal penting untuk mendorong UMKM daerah
meningkatkan kapasitas bisnis dan mengelola komoditas alam secara lestari dan memastikan
ekosistem pentingnya terjaga untuk meningkatkan daya saing dan menangkap potensi pasar
global maupun domestik yang semakin mengarah ke konsumsi yang berkesadaran dan
lestari. Hal ini sekaligus juga memastikan ketersediaan pasokan bahan baku yang aman,
sehat dan sesuai dengan kearifan lokal dan kebutuhan masyarakat di sekitarnya.
Peluang dan tantangan yang dihadapi oleh UMKM Indonesia juga dirasakan oleh UMKM
berbasis alam yang ada di kabupaten anggota Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL).
Sebagai wadah kolaborasi gotong royong perwujudan ekonomi lestari di kabupaten,
penguatan dan pengembangan produk lokal lestari dari UMKM berbasis alam menjadi salah
satu prioritas kerja kolaborasi antara pemerintah kabupaten, pelaku usaha UMKM, orang
muda, dan pemangku kepentingan lainnya. Melalui sentra inkubasi di kabupaten anggota,
khususnya di Musi Banyuasin dan Siak di Sumatera, Sanggau, Sintang dan Kapuas Hulu di
Kalimantan serta Sigi di Sulawesi, LTKL secara konsisten terus memfasilitasi,
mempromosikan, dan mengkolaborasikan ide bisnis dan usaha lestari. Berbagai inisiatif yang
berbasis masyarakat dengan mengolah berbagai produk kehutanan non kayu, pertanian dan
perkebunan yang ramah lingkungan serta karya kriya kreatif didorong untuk menjadi produk
unggulan yang memberikan nilai tambah baik dari segi ekonomi, lingkungan, dan sosial.
Selain itu, sentra inkubasi UMKM yang dimotori oleh orang muda di kabupaten tersebut
juga memastikan bahwa produk tersebut diproses melalui proses yang berkelanjutan dari
awal sampai akhir.
Untuk lebih mengagungkan soal produk unggulan kabupaten, LTKL membawa karya UMKM
berbasis alam ini, khususnya yang berupa kerajinan daerah dari bahan alami yang diolah dari
usaha menjaga hutan dan gambut ini ke ajang Internasional Handicraft Trade Fair
(INACRAFT) 2023. Acara pameran kerajinan tangan tahunan terbesar di Indonesia ini
diselenggarakan oleh Asosiasi Eksportir dan Produsen Kerajinan Tangan Indonesia (ASEPHI).
Pada pameran akbar ini ada sebanyak 1.209 peserta pameran lain yang juga mewakili 1.500
Usaha Kecil dan Menengah (UKM) Indonesia. Pada keikutsertaan kali ini LTKL berkolaborasi
dengan orang muda yang aktif mendorong pertumbuhan ekonomi lestari termasuk
pengembangan UMKM melalui Sentra Inkubasi UMKM dan orang muda di kabupaten
anggota LTKL.
Ristika Putri Istanti, Kepala Sekretariat Interim Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL)
menggarisbawahi tentang pentingnya peran orang muda dalam menjadi pelaku bisnis
UMKM hal yang perlu digaris bawahi untuk memajukan UMKM lokal adalah adanya peran
kaum muda yang memiliki semangat untuk membangun daerahnya dan memperbaiki
kesejahteraan diri sendiri dan masyarakat di sekitarnya. Orang muda dapat mengambil peran
fasilitator, pendamping maupun penggerak, bahkan sebagai pelaku bisnis UMKM sendiri.
UMKM bisa naik kelas dengan inovasi orang muda memanfaatkan teknologi dan kearifan
lokal.
“Keterlibatan orang muda merupakan salah satu resep dari pembangunan ekonomi lestari
dengan memastikan meningkatnya SDM lokal yang berkualitas dan bekerja langsung
mewujudkan ekonomi lestari di kabupaten mereka. LTKL menargetkan sampai 2028 untuk
mencetak paling tidak 50 orang muda di setiap kabupaten LTKL untuk siap bekerja di sektor
ekonomi lestari, termasuk di sektor UMKM,” tambah Ristika.
Dalam pameran ini, LTKL menampilkan kerajinan dari alam yaitu, Kain Gambo Musi
Banyuasin, Anyaman Suwai, Anyaman Sintang, Cover Pot Anyaman Bambu Sigi, Kain Tenun
Sintang, Kain Tenun Gambo (Pewarna Alami), Anyaman Pandan Siak, Kain Tenun Kapuas
Hulu, Keranjang Anyaman Bertangkai Sanggau, dan produk-produk buatan tangan dari
kabupaten anggota yang ada dalam sebuah Gerai Kabupaten Lestari. Diharapkan lewat
strategi ini dapat membuka peluang pasar yang lebih besar, memungkinkan investasi
berkelanjutan, serta mendorong kolaborasi multipihak untuk mengembangkan dan
mengkomunikasikan narasi berkelanjutan dari usaha-usaha lestari di kabupaten anggota
LTKL.
Salah satu contoh kiprah orang muda di kabupaten anggota LTKL dalam mendorong
pertumbuhan UMKM produk berbasis alam adalah kerja kolaborasi orang muda di sentra
inkubasi UMKM SELARAS (Sentra Ekonomi Lestari – Serasan Sekate) yang merupakan wadah
orang muda di Kabupaten Musi Banyuasin yang berperan aktif dan berkolaborasi untuk
mewujudkan pembangunan lestari melalui visi ekonomi lestari dengan melakukan inkubasi
berbagai usaha UMKM produk lokal berbasis alam, pendampingan dan fasilitasi peningkatan
kapasitas pengelolaan UMKM, produksi produk sampai dengan pemasaran.
LTKL juga didapuk sebagai pembicara dalam salah satu sesi khusus orang muda atau Youth
Stage, yaitu “Craft Talk”. SELARAS yang mewakili sebagai pembicara berbagi tentang peran
orang muda di Musi Banyuasin untuk mengembangkan inkubasi produk UMKM lokal
berbasis alam. Peran orang muda lokal sangatlah penting, sebab orang muda memiliki
banyak ide-ide kreatif dan inovatif.
Aziza Nurul Amanah, CEO KriyaKite sekaligus Anggota SELARAS yang menjadi pembicara
dalam sesi Craft Talk mengatakan bahwa, “salah satu produk lokal lestari UMKM berbasis
alam yang didampingi oleh SELARAS adalah produk Gambo Muba yang dikembangkan oleh
kelompok masyarakat Desa Toman di Kecamatan Babat Toman, Kabupaten Musi Banyuasin
merupakan sentra petani gambir di Sumatera Selatan. Hal istimewa yang menjadi karakter
kain gambo adalah bahan pewarna alami yang digunakan berasal dari limbah getah gambir
yang tadinya dibuang percuma. Pewarna dari getah gambir yang 100% organik ini
menghasilkan warna yang unik dan berbeda di setiap prosesnya. Pewarnaan alami ini
menjadikan Gambo Musi Banyuasin sebagai produk eco-fashion yang menjawab isu penting
dunia saat ini, dimana 50% dari limbah kimia adalah limbah tekstil. Pengolahan kain yang
berbasis alam dan 100% dengan pewarna alami dari getah gambir ini memberikan solusi
bagi kebutuhan tekstil dan pelestarian budaya sekaligus menjaga bumi dari limbah yang
berbahaya. Sebagai sebuah inisiatif yang dipelopori oleh orang muda, KriyaKite
berkomitmen untuk memberdayakan masyarakat lokal khususnya petani gambir dan
pengrajin kain jumputan untuk menghasilkan produk eco fashion lokal yang lestari berbasis
alam yang ramah lingkungan dan ramah sosial.”
Perkembangan Gambo Muba merupakan salah satu contoh konkrit bagaimana keberpihakan
dan gotong royong memperkuat UMKM berbasis alam, khususnya dengan melibatkan orang
muda dapat memberi dampak nyata bagi ekonomi masyarakat lokal. Berdasarkan data Dinas
UMKM Kabupaten Musi Banyuasin, pada tahun 2017 hanya ada 4 pengrajin Gambo Muba di
1 desa, tapi kini terdapat lebih dari 100 pengrajin. Bahkan saat ini desa pengrajin Gambo
Muba menjadi salah satu sentra pariwisata dan Gambo menjadi ikon eco-fashion di Musi
Banyuasin. Secara ekonomi, tentunya Gambo Muba ini memberikan nilai tambah bagi
gambir sebagai komoditas hutan non kayu, dan meningkatkan pendapatan para petani
gambir sehingga mereka dapat terus mempertahankan hutan yang menjadi sumber dari
gambir tersebut.
Senada dengan Aziza, penggerak orang muda lainnya dari kabupaten Siak, Cerli Febri, Ketua
sentra inkubasi UMKM di Kabupaten SIAK yang bernama SKELAS (Sentra Kreatif Lestari)
sekaligus CEO dari Suwai yang merupakan kerajinan kriya dari pandan hutan menyampaikan
saat ini semakin banyak orang muda yang tertarik untuk menggeluti sektor UMKM baik
sebagai enabler maupun sebagai pelaku usahanya sendiri dan keterlibatannya dari hulu ke
hilir, mulai dari budidaya dan pengolahan bahan berbasis alamnya, pengembangan riset
produk dan pengelolaan bisnisnya sampai dengan pemasaran dan distribusinya.
“Kami dari SKELAS percaya bahwa sektor UMKM memberikan ruang dan membuka
kesempatan bagi orang muda untuk kembali ke kampung dan berkarya membangun
ekonomi berbasis komunitas sambil memastikan bahwa produk-produk yang kami hasilkan
dari proses inkubasi di Siak dapat berkontribusi pada perlindungan hutan dan gambut kami,
menjaga ruang hidup di kampung halaman kami serta dapat dikenal lebih luas“ ujar Cerli.
Lewat keikutsertaanya di INACRAFT diharapkan kerja keras orang muda kabupaten untuk
mengenalkan ekonomi lestari dari produk eco fashion maupun produk lokal lestari berbasis
alam mendapat dukungan dari berbagai pihak. Khususnya untuk produk asli dari alam
Gambo Muba, agar masyarakat bisa beralih ke produk yang tidak hanya tinggi kualitasnya
namun juga mendukung keberlanjutan hutan. Sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui,
memilih barang fashion yang ramah lingkungan selain juga unik dan cantik, juga bisa
menjaga kelestarian alam. Seperti diketahui bahwa gairah ekonomi kreatif Indonesia sangat
dipengaruhi oleh perkembangan industri fashion yang mampu berkontribusi sekitar 18,01%
atau Rp 116 triliun.
Ala Baster, Kasubdit Koperasi, UKM dan Penanaman Modal, Direktorat Jenderal Bina
Pembangunan Daerah, Kementerian Dalam Negeri mengungkapkan dukungannya,
“Pemerintah mendukung usaha promosi dan perluasan pasar UMKM baik di tingkat daerah,
nasional maupun mancanegara. Penguatan UMKM produk lokal lestari sejalan dengan
program pemerintah yang telah membuka kesempatan bagi UMKM sebagai salah satu pilar
kekuatan ekonomi rakyat melalui keterlibatan dalam pengadaan barang dan jasa
pemerintah. UMKM diharapkan dapat bangkit, memanfaatkan peluang pasar baru,
khususnya untuk memasok kebutuhan pemerintah pusat dan daerah. Untuk itu diperlukan
kolaborasi dan partisipasi orang muda untuk ikut menjadi pelaku usaha UMKM maupun
sebagai pendamping khususnya untuk melakukan inkubasi usaha lokal dan lestari,
mendorong transformasi digital bagi para UMKM di daerah agar dapat turut serta pada
pengadaan barang dan jasa yang berkelanjutan.”
Dengan adanya alternatif Gambo Muba sebagai kain tradisional yang tak kalah fenomenal
dengan kain khas Indonesia seperti songket atau batik. Hal ini penting karena dengan
dilakukannya ekonomi lestari maka pelaku UMKM berbasis alam ini ikut mendukung
pembangunan berkelanjutan. Sehingga tak hanya bisa dikenal bahkan diakses oleh
masyarakat umum, namun juga UMKM berbasis alam ini memperoleh produknya secara
ramah sosial dan ramah lingkungan. UMKM lokal juga bisa menjadi bagian dari rantai pasok
bisnis Horeka, ECOTourism dan Lifestyle. Dampaknya positif lainnya adalah berkontribusi
pada pertumbuhan ekonomi kabupaten. Maka jika sudah konsisten seperti itu, maka
keberpihakan kebijakan dan praktik bisnis pada ekonomi ramah sosial dan lingkungan di
kabupaten juga bisa dipastikan.
Keterlibatan orang muda dalam pengembangan UMKM merupakan sebuah keniscayaan.
Terutama jika melihat data riset Mckinsey bahwa saat ini persentase Gen Z di Indonesia yang
masuk dalam golongan konsumen berkesadaran sebesar 26% dan Gen Z yang merupakan
konsumen yang menjunjung prinsip etis dalam berbelanja mencapai 18%. Hal ini
menunjukkan bahwa orang muda Indonesia mulai menjadi konsumen yang pemilih dan
menuntut produk yang dihadirkan juga produk yang memenuhi prinsip mereka. Hal ini
tentunya sejalan dengan geliat karya orang muda di kabupaten yang bergotong royong
membantu pengrajin dan pelaku UMKM lokal yang terus berinovasi dan berkreasi dalam
menghasilkan produk yang baik untuk alam, menangkap potensi pasar dunia dan membuat
bangga. (Ichsan)