Saat memasuki pesta demokrasi nanti, spanduk, banner, baliho, dan poster terbentang di segala tempat. Sayangnya saat masa kampanye usai, media promosi ini tidak lagi terpakai. Namun, ada cara praktis yang bisa dimanfaatkan agar limbah ini bisa diubah menjadi beragam produk bernilai.
Santernya isu ramah lingkungan dan semangat daur ulang telah memacu kreativitas untuk memproduksi berbagai kerajinan dari barang bekas. Selain menghemat biaya untuk modal bahan baku, limbah media kampanye juga bisa mengurangi sampah.
Salah satu pemain di bisnis ini ialah Plastic Works yang memproduksi tote bag, tas laptop, koper mini, sandal, dompet, gorden kamar mandi, map folder, dan agenda. “Awalnya, tren ini hanya berkembang di kalangan aktivis lingkungan hidup dan perusahaan untuk langkah corporate social responsibility mereka,” kata Aswin Aditya, pemilik Plastic Works. Saat ini, menurut Aswin, orang-orang yang tak menganut paham hijau pun bangga menenteng produk-produk ramah lingkungan buatan Plastic Works.
“Segmen pasarnya menengah ke atas, termasuk orang-orang yang has nothing to do dengan isu lingkungan,” ungkapnya. Wajar saja, barang produksi Plastic Works memang berkualitas ekspor. “Sekitar 70% produksi untuk tujuan ekspor ke berbagai negara, seperti Amerika Serikat, Belanda, Inggris, Australia, Singapura, dan Jerman,” tuturnya. Aswin menuturkan, perusahaannya pernah mendapat permintaan dari Singapura sebanyak 2.700 buah, Eropa 3.000 buah, dan Amerika Serikat 1.500 buah.
“Permintaan kebanyakan dari green organization seperti A Lot To Say asal Inggris,” kata Aswin lagi. Jika sudah dijajakan di negeri seberang, harganya pun melambung. “Tas laptop yang biasa saya jual di lokal Rp350 ribu. Kalau sudah sampai di luar negeri, harganya US$50 atau sekitar Rp700 ribu,” ujarnya. Meski banyak pesanan dari mancanegara, ia tetap perlu mengidentifikasi selera pasar lokal. Pembeli di Indonesia biasanya memilih tas satu warna.
“Sementara itu, konsumen Eropa dan Amerika Serikat lebih suka tas yang warna-warni dan eye catching,” imbuhnya. Soal bahan baku, Aswin mengaku tidak kesulitan, bahkan harganya relatif murah karena ia bekerja sama dengan pemulung. Melalui cara ini, UKM daur ulang limbah itu ikut menyejahterakan pemulung dengan membeli di atas harga standar. ` Selama ini, Aswin bisa merangkai spanduk bekas ukuran 40 m × 2 m menjadi 4 tas laptop. Banner ukuran 40 m × 3 m menghasilkan empat tote bag. Aswin memiliki sembilan karyawan untuk mengolah bahan menjadi tas.
Aswin membanderol produknya mulai Rp50 ribu sampai Rp350 ribu tergantung tingkat ketelitian dan kreativitas. Harga jual memang berkali-kali lipat dari modal. “Di situlah letak penghargaan terhadap kreativitas,” ujarnya. Selain perorangan, Aswin juga membidik pembeli perusahaan. “Biasanya, perusahaan memesan khusus dengan spanduk atau poster bekas berlogo perusahaan mereka,” kata dia.
Bagi pembeli yang memesan dalam jumlah banyak, Plastic Works memasang harga Rp30 ribu hingga Rp100 ribu per buah. Rata-rata omzet penjualan dalam sebulan Rp50 juta hingga Rp100 juta dari penjualan 500 sampai 1.000 produk. Untuk pemasaran di dalam negeri, Aswin lebih mengandalkan promosi dari mulut ke mulut. Pembeli biasanya datang sendiri ke workshop-nya di Ciledug, Tangerang.
Berbeda dengan Aswin, Tarlen Handayani, pemilik Vitarlenology di Bandung, cenderung mengombinasikan barang baru dan bekas untuk produknya. Ia menggabungkan spanduk dan poster bekas dengan kain tradisional Indonesia. “Saya tertarik untuk mengeksplorasi kain dari daerah Timur Indonesia,” ujarnya. Desainnya lebih condong ke pop art yang warna-warni.
Tarlen menjual tas laptop, dompet, dan tas belanja dengan harga Rp50 ribu hingga Rp150 ribu. Namun, ia tidak memasang harga berdasarkan banyaknya bahan yang dipakai, tetapi tingkat kesulitan pembuatan.
Konsumen berani membayar mahal untuk menghargai ide dan keunikan produknya. Kebanyakan barangnya dikoleksi oleh para penggila fanatik yang mayoritas berasal dari kalangan menengah ke atas. Dalam sebulan, Tarlen mampu memproduksi 100 hingga 200 produk. Jumlah produksi sedikit karena ia lebih mengutamakan keunikan. Ia menitipkan produknya di Selasar, Tobucil n Klabs, dan toko buku.
Sementara itu, Goethe-Institut yang sangat mendukung program daur ulang ini mendonasikan banner sisa acara kepada XS Project. Di tangan XS Project, banner sisa tersebut disulap menjadi produk unik yang memiliki nilai jual. XS Project merupakan industri rumahan yang fokus pada pemanfaatan limbah-limbah perusahaan, seperti plastik, spanduk, dan sebagainya.
Di tangan XS Project, limbah-limbah tersebut didaur ulang menjadi produk-produk dengan desain inovatif, seperti dompet, tote bag, tas belanja, tas sekolah, sofa kecil, dan sebagainya. Sebagian pendapatan yang dihasilkan dari produk-produk daur ulang tersebut disumbangkan sebagai dana beasiswa pendidikan bagi anak-anak pemulung dan anak-anak yang membutuhkan lainnya. (Adyan Soeseno)