Jika berbicara soal kebudayaan kriya Indonesia di Jakarta, sering kali kebudayaan Jawa dan Bali yang pertama kali muncul. Di pameran-pameran, batik, ukiran, dan patung pun terlihat mendominasi meski kita mengetahui bahwa betapa kaya kebudayaan kriya Indonesia yang kita kenali dan banggakan.
Ketika penulis pertama kali melangkahkan kaki di Palangka Raya, Kalimantan Tengah, sangat terasa bahwa kebudayaan Dayak memiliki spektrum visual dan filosofi yang sangat kaya, serta berbeda dengan yang biasa ditemui di Pulau Jawa.
Jika melihat interior Bandara Tjilik Riwut yang kaya akan ornamen Dayak, ukiran Kelawang dengan warna-warna primer yang muncul di antara gaya interior modern, serta gedung-gedung pemerintah yang menyerap estetika dari Rumah Betang, sangat terasa bahwa masyarakat Dayak ialah masyarakat yang pemberani dan senang berfilosofi.
Pulau terbesar Indonesia ini memiliki ratusan suku berbeda. Pada zaman dahulu, tidak sedikit dari mereka yang saling bertikai dan berperang antarsuku. Namun pada 1894, para perwakilan suku berkumpul di perjanjian Tumbang Anoi untuk mempersatukan visi, dan berjuang menjadi satu Indonesia dalam melawan penjajah. Mereka dipersatukan dalam filosofi komunal Dayak yang berani dan rela berkorban jiwa raga demi kepentingan bersama.
Masyarakat Dayak ialah masyarakat yang pemberani, kesatria, juga rela berkorban untuk kepentingan komunitasnya. Hal ini dilambangkan dengan beberapa simbol, seperti Burung Tinggang, Pohon Batang Garing, atau Kelawang (Perisai). Simbol-simbol ini menjadi ragam hias yang dijadikan ornamen pada produk kerajinan, salah satunya pada ukiran.
Hasil ukiran sering kali diaplikasikan pada finishing warna hitam, putih, serta warna-warna solid seperti merah, hijau, dan kuning. Setiap warna ini memiliki filosofi masing masing, seperti warna putih yang artinya suci atau kelahiran, kuning yang artinya kemakmuran, atau hitam yang artinya penangkis bahaya.
Kolaborasi Dayak dengan Perajin Jawa
Program transmigrasi yang dirintis pada era orde baru masih memiliki dampak, khususnya bagi masyarakat Kalimantan Tengah. Perbedaan cara bercocok tanam serta metode kerajinan dengan keunikan masing masing menjadi sebuah kolaborasi yang organis dan asimilasi pada produk-produk budaya yang hasilnya cukup menarik.
Saat ini, semakin banyak ukiran Dayak yang dijual sebagai suvenir atau kerajinan tangan meski kerajinan ukiran kayu bukanlah hasil kerajinan utama dari Kalimantan Tengah. Anyaman rotan halus dengan produk tas tangan masih mendominasi keluaran kerajinan dari provinsi ini, khususnya di daerah Palangka Raya.
Hal ini sangatlah menarik. Masyarakat transmigran Jawa yang terbiasa dengan ukiran dan tatahan kayu serta kemampuan mengukir (khususnya dari Jepara), lalu berbaur dengan ragam hias Dayak hingga menjadi sebuah cita rasa kerajinan yang berbeda.
Salah satu contohnya ialah UKM bernama Patra Craft—yang didirikan oleh salah satu peserta program transmigrasi—yang memiliki produk-produk khas Kalimantan yang dibuat dengan metode ukiran Jawa dengan eksekusi yang sangat menarik.
Karakter Kayu bagi Perajin Ukiran Kalimantan
Kesiapan bahan baku ialah salah satu faktor utama bagi keberlangsungan hidup sebuah produk. Kalimantan di mana banyak terdapat hutan rimba masih menjadikan kayu sebagai salah satu material pilihan untuk kerajinan di Palangka Raya.
Bagi perajin ukiran, karakter kayu di Kalimantan sanggat berbeda dengan di Pulau Jawa yang masih didominasi kayu jati. Kayu Kalimantan, misalnya kayu benuas, merupakan kayu berserat dan bergetah yang akan sulit diukir jika tidak dikeringkan dengan baik.
Untuk skala UKM, pengerjaan ukiran kayu di Palangka Raya bisa dibilang cukup memenuhi standar. Hal ini tidak serta merta terjadi, karena kayu tersebut harus dibelah secara legal sebab diawasi secara lebih ketat di Kalimantan. Selain itu, kayu juga dikeringkan secara lebih hati-hati untuk menghilangkan getahnya sebelum diolah.
Kayu benuas banyak diaplikasikan pada finishing warna-warna solid atau warna wood-stain gelap. Hal ini sesuai dengan karakter kayu benuas yang cenderung berserat lurus, meski penggunaan warna natural/transparan tidak kalah menarik dan sering digunakan.
Peran Pemerintah dalam Program DDS
Kementerian Perdagangan Republik Indonesia dalam program Designer Dispatch Service mengadakan kolaborasi desainer Indonesia terpilih untuk bekerja sama dengan pelaku usaha lokal dari beberapa provinsi terpilih, salah satunya Kalimantan Tengah. Penulis merasa bersyukur bisa menjadi bagian dalam program ini sebagai salah satu desainer untuk berkolaborasi dengan perajin di Palangka Raya.
Program ini bertujuan untuk menaikkan daya saing pelaku usaha dengan desain yang ditujukan untuk menembus pasar global. Pelaku usaha yang dinominasikan memiliki pasar lokal yang cukup baik. Akan tetapi, di sini desainer berperan untuk memadukan sumber daya lokal yang ada dan mengatasi kendala-kendala geografis, agar produk tersebut bisa bersaing secara global dengan produk unggulan yang efisien.
Salah satu hasilnya ialah Gelung Lamp yang merupakan kolaborasi penulis dengan pelaku usaha Patra Craft. Produk ini merupakan lampu dinding dengan desain Kelawang (Perisai) dan komposisi yang disesuaikan untuk interior yang lebih modern. Lampu ini terlihat polos ketika dalam keadaan mati, tetapi akan muncul siluet ornamen Dayak ketika dinyalakan dan bayangannya akan tersebar ke seluruh ruangan.
Meski dilaksanakan dalam hitungan bulan, kolaborasi dalam program DDS ini diharapkan bisa memunculkan produk lain yang lebih menarik lagi dan menjadi katalis kreativitas baik bagi pelaku usaha dan desainer yang terlibat maupun rekan-rekannya. (IDDC)