Salah satu industri prioritas yang menghasilkan produk bernilai tambah tinggi dan berdaya saing global adalah industri furnitur dan produk kerajinan kayu dalam rangka pengembangan industri nasonal.
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengatakan, dengan diterimanya lisensi Forest Law Enforcement Governance and Trade Voluntary Partnership Agreement (FLEGT-VPA), Indonesia harus memanfaatkan keunggulan komparatif bagi produk kayu asal Indonesia untuk meraih pasar yang lebih besar di Uni Eropa (UE).
Perjanjian FLEGT-VPA membantu negara mitra UE dalam memberantas pembalakan liar melalui perbaikan tata kelola dan regulasi hutan. FLEGT-VPA merupakan perjanjian yang dibuat oleh UE dengan negara mitranya untuk menjamin agar kayu yang diekspor dari negara mitra tersebut berasal dari sumber yang legal, serta dihasilkan secara berkelanjutan dan sesuai dengan prinsip perlindungan terhadap lingkungan hidup.
Menurut Retno, peresmian lisensi FLEGT merupakan momentum penting bagi hubungan Indonesia dan UE. Ini juga merefleksikan komitmen kuat Indonesia bagi sustainable timber products. Dengan adanya lisensi FLEGT, produk kayu asal Indonesia yang diekspor ke UE dapat masuk ke pasar Eropa melalui jalur hijau.
Retno menambahkan, kini produk kayu Indonesia makin unggul di pasar UE. Menurutnya, sebagai negara yang mendapat lisensi FLEGT, produk kayu Indonesia memiliki keunggulan komparatif di pasar UE. Daya saing dan akses pasar yang lebih luas yang dimiliki produk kayu Indonesia saat ini harus segera dimanfaatkan sebelum disusul oleh produk kayu dari negara lain.
Sementara itu, Presiden Joko Widodo menegaskan, kualitas produk kerajinan dalam negeri sudah bagus dan dapat bersaing di pasar global. Namun, aspek pemasarannya harus diperbaiki jika ingin mendongkrak nilai ekspor. Sebagaimana diketahui, ekspor produk kayu Indonesia dan turunannya ke negara-negara UE meningkat sejak peluncuran lisensi FLEGT pada 15 November 2016 lalu.
Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Ida Bagus Putera Parthama, mengatakan Indonesia telah menerbitkan 14.548 lisensi dengan bobot total mencapai 364.735.450 kilogram. “Nilainya mencapai US$400.156.088 sampai dengan 31 Maret 2017. Jika nilai tersebut dirupiahkan mencapai Rp5,325 triliun,” katanya.
Parthama mengatakan, Indonesia menjadi negara pertama di dunia yang berhak menerbitkan lisensi FLEGT untuk ekspor produk kayu ke pasar UE dan tidak lagi melalui tahap pemeriksaan uji tuntas.
Besaran ekspor sesuai perizinan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) berkisar dua ribu hingga enam ribu meter kubik. Sesuai dengan data dari European Timber Trade Federation, sebanyak 23 juta hektare hutan mendapat sertifikasi SVLK, 2.700 pabrik kayu menerima sertifikat SVLK, dan 1.800 eksportir kayu menerima sertifikat SVLK di Indonesia.
World Wide Fund for Nature (WWF) melalui WWF Indonesia mengapresiasi capaian Indonesia dalam mendapatkan lisensi Kebijakan Perdagangan Hasil Hutan (FLEGT). Menurut Plt CEO WWF Indonesia, Benja Mambai, hal tersebut mempertegas komitmen Indonesia dalam menjaga kelestarian hutan Indonesia melalui perbaikan tata kelola kehutanan, serta sebagai negara yang hanya menjual produk kayu yang terjamin legalitasnya.
Indonesia menjadi negara pertama di dunia yang berhasil mendapatkan lisensi FLEGT yang merupakan bagian dari upaya memerangi pembalakan liar dan perdagangan kayu ilegal. UE dan Indonesia telah sepakat bahwa sejak 15 November 2016, Indonesia sudah bisa menerbitkan lisensi FLEGT bagi produk kayu yang diekspor ke UE. Dengan bermodalkan lisensi FLEGT, produk kehutanan Indonesia tidak lagi memerlukan uji tuntas untuk memasuki pasar Eropa.
Perjanjian ini secara mendasar menempatkan SVLK sebagai salah satu instrumen penting untuk memastikan kayu Indonesia yang dipasarkan di Eropa ialah kayu yang bebas dari pelanggaran hukum serta berasal dari hutan yang dikelola secara legal dan bertanggung jawab.
Pentingnya Inovasi Produk
Seperti halnya fashion, produk kayu olahan juga terus mengalami perkembangan dan mengikuti tren. Karena itu, pelaku usaha harus mengetahui jenis-jenis kerajinan kayu yang sedang diminati pelanggan. Untuk meningkatkan ekspor kerajinan, masih banyak hal yang harus dievaluasi pelaku usaha. Jumlah ekspor kerajinan dapat meningkat jika produk dalam negeri mampu bersaing dengan negara-negara lain. Saat ini, pesaing utama Indonesia ialah Vietnam dan Malaysia. Karena itu, untuk meningkatkan ekspor, Indonesia harus memiliki daya saing di pasar internasional.
Ketua Umum Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia, Mugiyanto, menyebutkan, ada dua tantangan besar yang dihadapi industri mebel Indonesia. Pertama, inovasi desain produk yang dipasarkan untuk konsumen internasional. Inovasi dan kreasi menjadi kunci agar produk yang dihasilkan berkembang sesuai dengan selera pasar. Tantangan kedua yakni kasus perdagangan kayu ilegal memengaruhi masa depan industri mebel di Indonesia, karena hal tersebut berhubungan langsung dengan penyediaan bahan baku.
Sementara itu, Ketua Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia, Soenoto, mengungkapkan, masih ada sejumlah kendala yang kerap ditemui pelaku usaha dalam mengembangkan bisnis. “Kami berharap pemerintah bisa memperkuat dukungan mulai dari kebijakan yang kondusif, pengembangan desain, dan promosi ke luar negeri,” kata Soenoto.
Pemerintah merasa perlu mengembangkan industri mebel dan kerajinan yang memegang peran penting karena mendasarkan usaha pada tiga hal utama. “Pertama, industri ini berbahan baku 100 persen dari Indonesia; kedua, menyerap tenaga kerja yang banyak; ketiga, berorientasi ekspor dan menghasilkan devisa. Ini tiga hal penting dalam industri ini,” tegas Soenoto.
Salah satu dukungan pemerintah dalam mengembangkan industri mebel dan kerajinan ialah adanya penguatan SVLK yang dimiliki Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Sistem ini memperketat perdagangan dengan hanya menjual kayu legal yang telah diverifikasi untuk diekspor ke luar negeri. (Achmad Ichsan)